Sunnah Hasanah dan Sunnah Sayyiah

12 12 2007

 

Al-Mundzir bin Jarir menceritakan dari ayahnya Jarir bin Abdillah , bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam pernah bersabda:

مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ. ومَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ

Siapa yang melakukan satu sunnah hasanah dalam Islam, maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya tanpa mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan siapa yang melakukan satu sunnah sayyiah dalam Islam, maka ia mendapatkan dosanya dan dosa orang-orang yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun.”

 

Hadits yang mulia di atas diriwayatkan dalam Shahih Muslim no. 2348, 6741, Sunan An-Nasa‘i no.2554, Sunan At-Tirmidzi no. 2675, Sunan Ibnu Majah no. 203, Musnad Ahmad 5/357, 358, 359, 360, 361, 362 dan juga diriwayatkan oleh yang lainnya.

 


Yang dimaksud dengan sunnah hasanah dalam sabda Rasulullah shalallahu alaihi wassalam:


مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً


(Siapa yang melakukan satu sunnah hasanah dalam Islam) yakni menempuh satu jalan yang diridhai, yang jalan tersebut ada contoh/ asalnya dalam agama ini (bukan perkara yang diada-adakan/ bid’ah) dan akan menjadi contoh bagi orang lain.


Sedangkan sunnah sayyiah dalam sabda beliau:


ومَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً


(siapa yang melakukan satu sunnah sayyiah dalam Islam) yakni jalan yang tidak diridhai yang tidak ada asalnya dalam agama ini.

(Tuhfatul Ahwadzi, hal. 2034, kitab Al-’Ilm, bab Fi Man Da’a Ilal Huda Fatutbi’a aw Ila Dhalalah, Syarhu Sunan An-Nasa‘i lil Imam As-Sindi, 5/76)


Yang membedakan antara sunnah hasanah dengan sayyiah adalah adanya kesesuaian dengan pokok-pokok syar’i atau tidak. (Syarhu Sunan Ibni Majah lil Imam As-Sindi 1/90)


Namun jangan dipahami dari hadits di atas bahwa ada bid’ah hasanah dan ada bid’ah sayyiah. Prof. Dr. Syaikh Shalih Al Fauzan hafizhahullah (seorang ulama besar terkemuka, anggota Majelis Kibarul ‘Ulama, juga anggota Komite Tetap Kajian Ilmiah dan Pemberian Fatwa Kerajaan Saudi Arabia) berkata: “Tidak ada dalil bagi orang yang membagi bid’ah menjadi bid’ah hasanah (yang baik) dan bid’ah sayyiah (yang jelek). Karena yang namanya bid’ah itu semuanya sayyiah, dengan dalil sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam:

كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ

Seluruh bid’ah itu sesat dan semua kesesatan itu di dalam neraka.
Adapun sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam:

مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً


, maka yang dimaksud adalah:

Siapa yang menghidupkan satu sunnah. Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda demikian disebabkan salah seorang shahabat beliau yang datang dengan membawa sedekah di satu waktu dari saat-saat krisis, kemudian perbuatannya ini diikuti oleh orang lain sehingga mereka berturut-turut memberikan sedekah.”


Beliau juga menyatakan: “Hadits ini tidak menunjukkan sebagaimana yang dikatakan oleh mereka (bahwasanya ada bid’ah hasanah) karena Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam dalam hadits tersebut tidak menyatakan:


مَنْ ابْتَدَعَ بِدْعَةً حَسَنَةً


Siapa yang mengada-adakan bid’ah hasanah, namun beliau shalallahu ‘alaihi wassalam hanya menyatakan:


مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً


, sementara sunnah bukanlah bid’ah. Sunnah adalah apa yang mencocoki Al-Kitab dan As-Sunnah, mencocoki dalil, demikianlah yang namanya sunnah.

 

Maka barangsiapa yang mengamalkan satu sunnah yang ditunjukkan oleh Al-Kitab dan As-Sunnah –dengan menghidupkannya atau mengajarkannya kepada manusia dan menerangkannya kepada manusia hingga mereka mengamalkan sunnah tersebut karena mencontohnya (orang yang menghidupkan sunnah tersebut, maka ia akan mendapatkan pahala sunnah tersebut dan pahala orang-orang yang mengamalkannya sampai hari kiamat.

 

Sababul wurud (sebab terjadinya) hadits ini sudah dikenal, yaitu ketika orang-orang Arab yang miskin datang menemui Nabi n. Beliau trenyuh melihat keadaan mereka dan merasa sangat sedih karenanya. Maka beliau pun memerintahkan dan mendorong para shahabatnya untuk bersedekah. Lalu berdirilah seseorang dari kalangan shahabat untuk memberikan sedekahnya berupa makanan sepenuh telapak tangannya. Kemudian manusia pun berturut-turut memberikan sedekah karena mencontoh orang ini, karena memang dialah yang pertama kali membuka jalan bagi mereka. Saat itulah Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda:

مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً

Siapa yang melakukan satu sunnah hasanah dalam Islam…


Orang ini telah melakukan amalan sunnah, yaitu bersedekah dan membantu orang yang membutuhkan. Sedangkan sedekah diperintahkan dalam Al-Kitab dan As-Sunnah, maka sedekah merupakan sunnah hasanah, bukan bid’ah. Siapa yang menghidupkan, mengamalkan, dan menerangkannya pada manusia hingga mereka pun mengamalkan dan mencontohnya dalam melakukan amalan/sunnah tersebut, orang itu mendapatkan pahala semisal pahala mereka.” (Dhahiratut Tabdi’ wat Tafsiq wat Takfir wa Dhawabithuha, hal. 42, 47-48)


Al-Imam Abu Ishaq Asy-Syathibi rahimahullah dalam kitabnya yang masyhur Al-I’tisham (1/233 dan 235) menyatakan bahwa dalam sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam di atas tidaklah sama sekali menunjukkan bolehnya mengada-adakan perkara baru, tapi justru menunjukkan pengamalan suatu sunnah yang tsabit (pasti) keberadaannya, sehingga sunnah hasanah bukanlah perkara mubtada’ah (yang diada-adakan/ bid’ah).

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata ketika mensyarah (menjelaskan) hadits yang agung ini: “Dalam hadits ini ada dorongan untuk mengawali melakukan amalan-amalan kebaikan dan mengerjakan sunnah-sunnah hasanah (menghidupkan perkara kebaikan yang telah ditinggalkan oleh orang-orang dan menghidupkan sunnah yang telah mati,.). Dan (dalam hadits ini juga) terdapat peringatan untuk tidak melakukan perkara kebatilan dan kejelekan.”

Beliau juga menyatakan bahwa hadits ini menunjukkan keutamaan yang besar bagi orang yang memulai melakukan satu amalan kebaikan dan menjadi pembuka pintu amalan ihsan/ kebaikan bagi lainnya. Dan barangsiapa yang melakukan sunnah hasanah, ia akan mendapatkan pahala semisal dengan pahala-pahala yang didapatkan oleh orang-orang yang mengamalkan sunnah tersebut (karena mencontohnya) semasa hidupnya ataupun setelah matinya sampai hari kiamat. Dan sebaliknya, barangsiapa membuat sunnah sayyiah, niscaya ia akan mendapatkan dosa semisal dosa orang-orang yang menirunya dalam melakukan sunnah tersebut semasa hidupnya atau sepeninggalnya sampai hari kiamat. (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 7/105-106, 16/443-444)

 


Aksi

Information

4 responses

14 12 2007
Andri

Assalamualaykumwarrahmaullohi wabarkaatuh,
Alhamdulillah wa syukurillah
kepada semua ikhwan dan akhwat, ana punya masalah tentang pemahaman puasa di bulan Djulhizah.apakah ada keterangan Hadits tentang puasa 9 hari di bulan Djulhizah, ana sudah membaca hadits “keutamaan puasa 10 hari di permulaan bulan Djulhizah” Rosullulloh solallohu alaihi wasalam bersabda :Alloh mengutamakan ibadah di permulaan bulan Dzulhizah, barang siapa yang beramal sholeh di bulan ini lebih baik di bulan lainnya, lalu sahabat bertanya’ meski perang fissabilillah? sabda Rosul :Ya, kecuali orang yang membawa hartanya kemudian pulang tidak membawa apa-apa”
hadits tsb yang pernah ana baca tetapi banyak sekali orang-orang yang mengutamakan puasanya di awal bulan ini?? mohon kepada ikhwan & akhwat yang lebih tahu tentang hal ini ana minta penjelasannya??
atau kirim jawaban ke email: andri.ahmad@yahoo.co.id

Jazakallohu khoiron katsiro,
wassalamualaykum warrohmatullohi wabarakaatuh,

wa’alaykumussalam warahamatullahi wabarakatuh
mengenai hal ini antum bisa merujuk ke

atau bisa juga antum download di

semoga bisa membantu antum..Allahu ta’ala ‘alam

29 07 2011
Hamdan

kalo begitu sunnah sayyiah apa yg dicontohkan Nabi ?

7 07 2012
Susanto

@Hamdan
Maksud Mas Hamdan mungkin sunnah sayyiah yg dijelaskan oleh Nabi ya.
Imam Asy-Syathibi (Mufti Andalusia, lhr 720 H) berkata: “Sunah yang buruk masuk dalam kategori perbuatan maksiat yang telah ditetapkan syariat, seperti perkara pembunuhan yang telah diterangkan di dalam hadits anak Adam tatkala Nabi saw bersabda: “Karena ia adalah orang pertama yang membuat sunah (perilaku) pembunuhan.” (Al-I’tisham oleh Imam Asy-Syathibi)

27 03 2016
Khairul Rizki

Bukan begitu @susanto yg hamdan maksud adalah jika sunnah hasanah yg nenurutmu itu adalah sunnah nabi berarti secara tidak langsung anda mengatakan sunnah sayyiah pun dimiliki nabi.

Tinggalkan komentar