Meminta Fatwa pada hati…??!

10 02 2008

 

Mungkin saja ada yang mengatakan : Bukankah ada hadits yang mengarahkan kita agar berpedoman dengan apa yang terbetik dadalam hati dan jiwa, meskipun disana tidak ada dalil yang menunjukkan suatu hukum diantara hukum hukum syari’at ??

 

Imam Muslim rahimahullah telah meriwayatkan hadits dari An Nawwas bin Sam’an Radhyallahu ‘anhu ia berkata :

Saya pernah bertanya kepada rasulullah shalalallahu ‘alaihi wassalam tentang kebajikan dan dosa, lalu beliau shalallahu ‘alaihi wassalam menjawab :

kebajikan itu adalah akhlak yang mulia dan dosa itu adalah apa yang bertengger didadamu sementara kamu tidak senang orang orang mengetahuinya” (HR Muslim no 2553)

 

Dari Anas bin Malik Radhyallahu ‘anhu, ia berkata:

Saya pernah mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda :

Tinggalkanlah apa yang meragu ragukanmu, dan peganglah apa yang tidak meragu ragukan” (diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Al Musnad III/53)

 

Dari wabishah Radhyallahu ‘anhu ia berkata :

Saya pernah bertanya kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam tentang kebajikan dan dosa, maka beliau menjawab :

Hai, Wabishah, minta fatwalah kepada hatimu, dan mintalah fatwa kepada dirimu. Kebajikan adalah ap yang menjadikan jiwa dan hati merasa tenang, sedangkan dosa adalah apa yang terombang ambing dalam jiwa dan dada meskipun orang orang memberimu fatwa” (diriwayatkan oleh Imam Ahmad IV/227)

Dalam hadits hadits diatas nampak adanya anjuran untuk mengembalikan sejumlah hukum hukum syaria’t kepada apa yang terbetik didalam jiwa dan terlintas dalam pikiran. Dalam suatu perkara apabila jiwa merasa tenang kepadanya maka sah untuk dijadikan pegangan bertindak, namun apabila hati ragu ragu maka tidak boleh kita bertindak. Hal itu seperti ihtisan, dalam menilai baik atau buruk suatu perkara dengan mengembalikan kepada apa yang dianggap baik oleh hati dan dicondongi oleh jiwa, meskipun disana tidak ada dalil syar’i. Karena kalau disana ada dalil syar’i, ketetapan ini terikat dengan dalil dalil syar’i, tentu tidak akan diisyaratkan kepada apa yang ada dalam jiwa, tidak pula apa yang terbetik dalam hati.

Hal itu menunjukkan bahwa anggapan baik akal dan kecondongan jiwa itu diperhatikan dalam hal pensyariatan hukum hukum.

 

Kesimpulannya : Hadits hadits tersebut mengandung arti bahwa fatwa fatwa hati dan apa yang menenangkan jiwa itu bisa digunakan dalam menetapkan hukum hukum syari.

 

Memang tenangnya jiwa dan tentramnya hati dalam suatu perkara yang tidak ditunjukkan oleh dalil itu bisa diterima dan bisa juga tidak diterima, jika tidak diterima berarti menyelisihi apa yang telah ditunjukkan oleh hadits hadits tadi, sedangkan jika diterima, berarti ada sumber hukum lain selain Al Quran dan As sunnah.

 

Mungkin ada yang mengatakan “ Itu bisa di terima dalam hal pencegahan bukan dalam hal bertindak”

Perkataan tersebut pun belum menuntaskan masalah karena baik melakukan tindakan maupun mencegah suatu tindakan adalah perbuatan yang mesti akan berkaitan dengan hukum syar’i yaitu tentang boleh dan tidaknya. Padahal Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam mengaitkan hal itu dengan tenang tidaknya jiwa. Karena jika hal itu bersumber dari dalil, jelas tidak ada masalah.

 

Jawaban :

Perkataan yang pertama itu benar adanya, hanya saja membutuhkan penelitian dalam realisasinya. Ketahuilah, bahwa setiap masalah membutuhkan 2 penelitian, yaitu penelitain tentang dalil dari masalah hukum dan penelitian tentang sebab hukum tersebut.

 

Penelitian tentang dalil dari hukum masalah mesti dari Al Quran dan AS Sunnah, atau sumber sumber hukum lainnya yang bersumber dari keduanya seperti ijma’, qiyas atau yang lainnya, tidak boleh memandang kepada tenang atau tidaknya jiwa.

 

Tenang tidaknya hati hanya digunakan dalam masalah keyakinan suatu terhadap dalil, apakah ia benar benar suatu dalil atau bukan.

 

Sedangkan tentang sebab ditetapkanya suatu hukum tidak mesti ditetapkan dengan suatu dalil syar’i saja. Adanya sebab tersebut bisa saja ditetapkan dengan dalil syar’i atau dengan tanpa dalil. Sehingga dalam menetapkan sebab tersebut tidak disyaratkan harus melauli ijtihad seorang ahli, bahkan mungkin saja tidak disyaratkan adanya ilmu tertentu,apalagi sampai diperlukan ijtihad khusus seorang ulama.

 

Begitulah, Apabila demikian halnya, maka barang siapa memiliki daging kambing yang disembelih secara syari, maka halal bagi dia untuk memakannya, karena menurutnya kehalalan kambing tersebut jelas manakala telah memenui syarat halal. Masing masing dari 2 sebab tersebut berpulang kepada apa yang terbersit dalam hatinya dan ketenangan jiwanya, jadi tidaklah bergantung kepada perintah, Bukankah kita tahu bahwa daging tersebut bisa jadi sama, kemudian ada seseorang ynag berkeyakinan halal sementara ada orang lain yang berkeyakinan haram. Kalau begitu berarti salah seorang dari kedua orang tersebut memakan yang halal, sementara yang lainnya wajib untuk menjauhinya karena menurutnya haram ??! Kalaulah apa yang terbetik dalam hati disyaratkan harus ada dalil syar’i yang menunjukkannya, maka contoh ini tidaklah tepat dan mustahil, karena dalil dalil syar’i tidaklah saling bertentang sama sekali.

 

Sehingga bila kita katakan bahwa daging tesebut menimbulkan masalah bagi pemiliknya dalam menentukan sebab hukumnya, tentu dia tidak akan condong kepada salah satu dari dua hal tadi, sama seperti kasus bangkai dengan hewan yang disembelih (secara syar’i) dan antara istri dengan wanita lain yang bukan istri diatas.

 

Disinilah letak terjadinya keragu raguan. Kebimbangan kesulitan, dan kesamaran. Dan berkait dengan masalah sebab ini, kita membutuhkan dalil syar’i yang dapat menjelaskan hukumnya. Dan dalil syar’i yang dimaksudkan ialah hadits hadits terdahulu, seperti sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam

Tinggalkanlah apa yang meragu ragukanmu, dan peganglah apa yang tidak meragu ragukan

 

kebajikan itu adalah akhlak yang mulia dan dosa itu adalah apa yang bertengger didadamu sementara kamu tidak senang orang orang mengetahuinya”

 

seolah olah beliau shalallahu ‘alaih wassalam mengatakan “ sesuatu yang telah jelas halal atau haramnya silahkan kamu berbuat sesuai ketentuan hukum tersbut, sedangkan sesuatu yang sulit diketahui hukumnya maka tinggalkanlah dan janganlah kamu terperosok didalamnya .

 

Itulah makna sabda rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam :

mintalah fatwa kepada dirimu. Kebajikan adalah apa yang menjadikan jiwa dan hati merasa tenang, sedangkan dosa adalah apa yang terombang ambing dalam jiwa dan dada meskipun orang orang memberimu fatwa”

 

karena sebab permasalahan yang kita hadapai berbeda dengan sebab permasalahan yang dihadapi orang lain dan diri kita lebih mengetahui permasalahan yang kita hadapi. Hal itu akan tampak menakala sebab tersebut membuat kita kesulitan, sementara tidak bagi orang lain, karena dia tidak menghadapi permasalahan sebagaiman kita hadapi.

 

Maksud sabda Rasululullah shalallahu ‘alaihi wassalam

meskipun orang orang memberimu fatwa

 

bukanlah berarti, jika mereka menyampaikan hukum syar’i kepadamu maka tinggalkanlah, lalu lihatlah apa yang difatwakan kepada hatimu. Karena yang seperti itu jelas bathil, serta mengada adakan syari’at. Dan yang dimaksud oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam tidak lain adalah berkenaan denagn penetapan sebab dari hukum tersebut.

 

Oleh karena itu, jelaslah bahwa hadits hadits diatas tidak mendorong kita untuk menetapkan hukum hukum syari’at dari ketenangan jiwa atau kecondongan hati sebagaimana yang disebutkan oelh orang orang yang menanyakan permasalahan ini.

 

Segala puji bagi Allahu ta’ala yang karena kenikmatan kenikmatan Nya menjadi sempurna amalan malan shalih

 

Allahu ‘alam

 

Disadur dari Ringkasan Al I’tisham : Membedah seluk beluk bid’ah, Imam Asy Syathibi rahimahullah oleh Syeikh Alawi bin Abdul Qadir As Saqqaf, penerbit Media Hidayah Yogyakarta

 


Aksi

Information

6 responses

11 06 2008
syamsul

barakallahu fiik, nyari2 minta fatwa kepada hati akhirnya tertaut kemari..salam dari temannya Aji, Abu Yahya Albikazy

wafiika barakallah, …..

11 04 2009
ITA /Ummu Rumaisha

assalamu’alaikum warohmatullahi..

akhi,..apa minta fatwa dalam hati itu juga trmasuk bisikan dikuping kanan,ya??

ktanya ,sih…bisikan kebaikan..he..he..he..(just kidding)
dan ditambah lagi..dengan keyakinan dihati..ya

only question…not to answer ..

23 05 2009
Hamba Allah

Maha Bijaksana Allah, Yang Maha Mengetahui apa apa saja yang hambaNya tidak ketahui. Mohon pendapatnya mengenai sebuah cinta sesama jenis dimana hati merasa tenang dan tentram didekatnya (diluar konteks hawa nafsu dan hal-hal lain yang berkonotasi negatif) dan hati merasa risau pula gelisah jika berpisah.. Apakah akan menjadi kebajikan, ataukah mata hatiku yang buta? Maha Suci Allah Yang Maha Pengampun..

24 05 2009
ITA /Ummu Rumaisha

PENYIMPANGAN SEKSUAL HOMOSEK/LIWATH

Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Baz

Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya :

Assalamuâlaikum warahmatullahi wabarakatuh. Saya seorang pemuda berumur 21 tahun. Saya telah terjerat perilaku homoseksual sejak umur delapan tahun ketika ayah saya terlalu sibuk sehingga lalai mendidik saya. Saat ini saya hidup dengan perasaan bersalah dan menyesali perbuatan itu sampai-sampai saya berpikir untuk bunuh diri – saya mohon perlindungan Allah dari hal itu-. Rasa pedih dan siksa bertambah dengan permintaan keluarga saya agar saya menikah. Saya mohon Anda memberi saya bimbingan tentang cara yang benar dan solusi yang tepat untuk masalah saya ini sehingga saya dapat terlepas dari kehidupan yang sangat menyiksa yang saya rasakan saat ini. Semoga Allah membalas Anda dengan yang lebih baik.

Jawaban:

Waalaikumussalam warahmatullah wabarakatuh.

Saya mohon kepada Allah agar melimpahkan kepada Anda kekuatan untuk terlepas dari perilaku yang Anda ceritakan. Tidak diragukan lagi bahwa perilaku yang Anda ceritakan itu adalah perilaku yang sangat keji. Akan tetapi “alhamdulillah- solusinya sebenarnya mudah, yaitu Anda segera bertaubat nasuha dengan cara sungguh-sungguh menyesali apa yang telah terjadi, berhenti total dari perilaku keji itu, dan bertekad kuat untuk tidak mengulanginya, serta bergaul dengan orang-orang yang baik, menjauhi orang-orang yang tidak baik, dan segera menikah. Jika secara jujur taubat itu, maka bergembiralah (bahwa Anda akan mendapatkan) kebaikan, keberuntungan, dan akhir yang baik. Ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Taala berikut.

Artinya : Dan bertaubatlah kepada Allah kalian semua wahai orang-orang yang beriman, supaya kalian beruntungâ [An-Nur : 31]

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninyaâ [At-Tahrim : 8]

Begitu pula berdasarkan sabda Nabi Shallallahu â˜alaihi wa sallam

“Artinya : Taubat menghapuskan dosa yang sebelumnyaâ

“Artinya : Orang yang bertaubat dari dosanya keadaannya seperti orang yang tidak punya dosaâ [Hadits Riwayat Ibnu Majah No. 4250, Thabrani X/150]

Semoga Allah melimpahkan taufiqNya kepada Anda, dan memperbaiki hati dan amal perbuatan Anda, serta menganugrahi Anda taubat nasuha dan teman-teman dari orang-orang yang baik.

[Majmu Fatawa wa Maqalat Mutanawwiâah V/422-423]

[Disalin dari Majalah Fatawa Volume 11/Th I/14124H-2003M]

24 05 2009
ITA /Ummu Rumaisha

BERGAUL DENGAN PELAKU PENYIMPANGAN SEKSUAL

Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Baz

Pertanyaan :

Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : Apa pernjelasan Anda tentang bermuamalah dengan para pelaku dosa besar, seperti pezina, homosek dan dosa besar lainnya yang telah datang dalil yang menyebutkan ancaman keras bagi pelakunya ? Bolehkah berbicara dengan mereka ? Bolehkah mengucapkan salam kepada mereka ? Bolehkah pula berteman dengan mereka dalam rangka mengingatkan mereka akan ancaman Allah dari siksaNya yang pedih ?

Jawaban
Orang yang tertuduh melakukan perbuatan maksiat wajib untuk dinasehati dan diberi peringatan akan maksiat itu dan akibat jeleknya, dan bahwa maksiat itu termasuk diantara penyebab sakit, mengeras dan matinya hati. Adapun orang yang terang-terangan dan mengakui maksiat itu, maka wajib ditegakkan had pada dirinya dan dilaporkan kepada penguasa.

Tidak boleh berteman dan bergaul dengan orang seperti itu, bahkan sebaliknya wajib diboikot agar mudah-mudahan dia mendapat hidayah Allah dan mau bertaubat. Kecuali jika boikot itu justru menjadikan mereka bertambah jelek perilakunya. Maka wajib selalu mengingkari perbuatan mereka dengan cara yang baik dan nasehat yang terus menerus sampai mereka mendapat hidayah dari Allah.

Tidak boleh menjadikan mereka teman, bahkan wajib terus mengingkari dan memperingatkan mereka tentang perbuatan mereka yang keji itu. Dan wajib bagi pemerintah negeri-negeri Islam menangkap mereka dan melaksanakan had-had syariat pada mereka. Sedangkan orang-orang yang mengetahui keadaan mereka, wajib untuk membantu negara dalam hal itu berdasarkan firman Allah Subhanahu wa ta’ala.

Artinya : Dan tolong-menolonglah dalam berbuat kebajikan dan ketakwaan.”[Al-Maâidah : 2]
“Artinya : Dan orang-orang yang beriman lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang makruf, mencegah dari perbautan yang mungkar.”[At-Taubah : 71]

Artinya : Demi masa,sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, dan mengerjakan amal salih, dan nasihat menasihati supaya mentaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran[Al-Ashr : 1-3]

Begitupula berdasarkan sabda Nabi Shallallahu â˜alaihi wa sallam.

“Artinya : Barangsiapa di antara kalian yang melihat suatu kemungkaran, maka hendaknya dia merubahnya dengan tangannya. Jika tidak mampu, hendaknya dengan lisannya. Dan jika tidak mampu juga, maka dengan hatinya, dan itu selemah-lemah imanâ[Riwayat Muslim] [1]

Artinya : Agama itu nasihat. Ditanyakan kepada beliau, “Nasihat untuk siapa wahai Rasulullah ?. Beliau menjawab, “Untuk Allah, untuk kitabNya, untuk RasulNya, dan untuk para pemimpin kaum muslimin dan kaum muslimin umumnyaâ [Riwayat Muslim] [2]

Ayat dan hadits yang mengandung makna ini amat banyak.

Kami memohon kepada Allah semoga Dia memperbaiki keadaan kaum muslimin, menjadikan mereka paham akan ajaran agamanya, dan melimpahkan taufiqNya kepada mereka untuk nasihat menasihati supaya mentaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran Anda, serta menyatukan kalimat mereka.

[Majmu Fatawa wa Maqalat Mutanawwiah V/399-400]

[Disalin dari Majalah Fatawa Volume 11/Th I/14124H-2003M]

Foote Note.
[1]. Muslim No. 49. Tirmidzi no. 2172. Nasai No. 5008-5009. Abu Dawud No. 1140, 4340. Ibnu Majah No. 1275, 4013. Ahmad No. 10689
[2]. Muslim No 55. Nasai No. 4197, 4198. Abu Dawud No. 4944. Ahmad No. 16493 dari Tamim Ad-Dari. Tirmidzi N0. 1926 dan Nasai No. 4199 dari Abu Hurairah

24 05 2009
ITA /Ummu Rumaisha

Hukuman Bagi HomoSeks

Homoseksual (liwath) merupakan perbuatan asusila yang sangat terkutuk dan menunjukkan pelakunya seorang yang mengalami penyimpangan psikologis dan tidak normal.

Berbicara tentang homoseksual di negara-negara maju, maka kondisinya sudah sangat memprihatinkan. Di negara-negara tersebut kegiatannya sudah dilegalkan. Yang lebih menyedihkan lagi, bahwa ‘virus’ ini ternyata juga telah mewabah di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.

Bagaimana sesungguhnya masalah besar ini menurut kacamata Islam? Apa ancaman yang akan diterima pelakunya? Beberapa uraian berikut akan merangkum pendapat Imam Ibn al-Qayyim di dalam bukunya, ad-Dâ` Wa ad-Dawâ.

Dalam istilah Islam, homoseksual lebih dikenal dengan nama “al-Liwâth” yang diambil dari kata “Luth,” nama seorang Nabi Allah. Mengapa dinisbatkan kepada Nabi Allah tersebut? Sebab perbuatan semacam itu dilakukan oleh kaumnya. (Kadang juga disebut dengan sodomi, dari nama negri kaum Nabi Luth, Sodom, red)

Dampak negatif yang ditimbulkan perbuatan Liwâth (Homoseksual), sebagaimana perkataan Jumhur Ulama ijma’ dari para shahabat mengatakan, “Tidak ada satu perbuatan maksiat pun yang kerusakannya lebih besar dibanding perbuatan homoseksual. Bahkan dosanya berada persis di bawah tingkatan kekufuran bahkan lebih besar dari kerusakan yang ditimbulkan tindakan pembunuhan.”

Allah subhanahu wata’ala tidak pernah menguji dengan ujian yang seberat ini kepada siapa pun umat di muka bumi ini selain umat Nabi Luth. Dia memberikan siksaan kepada mereka dengan siksaan yang belum pernah dirasakan oleh umat mana pun. Hal ini terlihat dari beraneka ragamnya adzab yang menimpa mereka, mulai dari kebinasaan, dibolak-balikkannya tempat tinggal mereka, dijerembabkan nya mereka ke dalam perut bumi dan dihujani bebatuan dari langit. Ini tak lain karena demikian besarnya dosa perbuatan tersebut.

Hukuman bagi Pelakunya

Setidaknya, ada tiga hukuman berat terhadap pelaku homoseksual:

Pertama; Dibunuh.

Para ulama mengatakan, “Dalil atas hal ini adalah bahwa Allah subhanahu wata’ala menjadikan Hadd (hukuman) atas orang yang membunuh jiwa manusia diserahkan kepada pilihan wali dari korban; dibunuh atau dima’afkan tetapi pelakunya harus membayar denda (diyat) atas hal itu. Namun hal ini berbeda dengan kasus homoseksual. Allah subhanahu wata’ala mengenakan Hadd yang pasti (tegas) sebagaimana yang disepakati para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdasarkan dalil-dalil dari as-Sunnah yang begitu tegas yang tidak ada pertentangan atasnya, bahkan demikian pula yang dilakukan oleh para shahabat dan al-Khulafa` ar-Rasyidun.

Ke-dua; Dibakar.

Terdapat riwayat yang valid dari Khalid bin al-Walid radhiyallahu ‘anhu bahwa ia pernah menemukan di suatu daerah pinggiran perkampungan Arab seorang laki-laki yang menikah dengan sesamanya layaknya wanita yang dinikahkan. Maka, ia pun mengabarkan hal itu kepada Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu. Lalu beliau meminta pendapat para shahabat yang lain, di antaranya ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu yang mengambil pendapat yang sangat tegas. Ia mengata kan, “Menurutku, hukumannya dibakar dengan api.” Maka Abu Bakar pun mengirimkan balasan kepada Khalid bahwa hukumannya ‘dibakar.’

Ke-tiga; Dilempar dengan Batu Setelah Dijungkalkan dari Tempat Yang Tinggi.

‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata, “Perlu dicari dulu, mana bangunan yang paling tinggi di suatu perkampungan, lalu si homoseks dilempar darinya dengan posisi terbalik, kemudian dibarengi dengan lemparan batu ke arahnya.” Ibn ‘Abbas zmengambil hukuman (Hadd) ini sebagai hukuman Allah subhanahu wata’ala atas homoseks.

Bukan Hanya Pelaku Utamanya Saja yang Dihukum

Ibn ‘Abbas -lah yang meriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sabda beliau, “Siapa saja yang kalian dapati melakukan perbuatan kaum Luth (homoseksual), maka bunuhlah si pelaku (yang mengajak) dan orang yang dilakukan terhadapnya (pasangan).” (Diriwayatkan oleh para pengarang kitab as-Sunan, dinilai shahih oleh Ibn al-Qayyim)

Nash-Nash Berbicara

Di dalam banyak nash terdapat berbagai ancaman atas pelaku homoseksual, di antaranya adalah:

Homoseks Dilaknat. Dalam sebuah hadits yang shahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Allah telah melaknat orang yang melakukan perbuatan kaum Luth (homoseks), Allah telah melaknat orang yang melakukan perbuatan kaum Luth (homoseks), Allah telah melaknat orang yang melakukan perbuatan kaum Luth (homoseks).” (HR.Ahmad dan Abu Ya’la)

Dalam hal ini, tidak ada hadits yang memuat ancaman dengan laknat sedemikian tegas hingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sampai mengulanginya tiga kali. Dalam kasus zina, beliau hanya menyebut laknat sekali saja, demikian juga dengan laknat yang diarahkan kepada sejumlah pelaku dosa-dosa besar; tidak lebih dari sekali. Hal itu, ditambah lagi dengan sikap para shahabat yang sepakat memberikan ancaman mati bagi homoseks di mana tidak seorang pun dari mereka yang mengambil sikap berbeda. Mereka hanya berbeda dalam hal bagaimana eksekusi terhadapnya.

Homoseksual Lebih Keji (Kotor) Daripada Zina. Siapa saja yang merenungi firman Allah yang berkenaan dengan zina, “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk,” (al-Isrâ`:32) dan firman-Nya yang berkenaan dengan Liwath, ” Mengapa kamu mengerjakan perbuatan fahisyah (homoseksual) itu yang belum pernah dilakukan oleh seorang pun (di dunia ini) sebelum kamu,” maka pastilah ia akan mendapatkan perbedaan yang amat kentara. Pada firman-Nya mengenai zina, dalam redaksi ayat, Allah subhanahu wata’ala menjadikan kata “Fâhisyah (perbuatan keji)” dalam bentuk “nakirah” (tanpa alif lam, red) yang berarti ia merupakan salah satu dari perbuatan-perbuatan keji. Namun, dalam redaksi ayat mengenai homoseksual, Diamenjadikan kata “Fâhisyah” tersebut dalam bentuk “ma’rifah” (dengan alif lam) yang mengandung pengertian bahwa ia mencakup semua apa yang disebut dengan Fâhisyah itu. Maknanya, “Apakah kalian melakukan suatu perbuatan yang menurut semua orang adalah keji itu?”

Al-Qur’an Menegaskan Betapa Durjananya Homoseksual. Dalam ayat 80 surat al-A’raf, Allah subhanahu wata’ala menegaskan bahwa ia perbuatan keji yang tidak pernah dilakukan oleh penduduk mana pun di muka bumi. Kemudian dalam ayat 81, dikuatkan lagi dengan menyebutnya sebagai sesuatu yang amat dibenci hati, tidak patut didengar dan dijauhi oleh tabi’at, yaitu perbuatan menikah sesama lelaki.

Pelaku Homoseksual adalah Musuh Fitrah. Dalam ayat selanjutnya dalam surat al-A’raf di atas, ditegaskan lagi betapa buruknya perbuatan tersebut yang berlawanan dengan fitrah yang Allahanugerahkan kepada laki-laki. Para pelakunya telah memutar balikkan tabiat yang semestinya bagi laki-laki, yaitu tertarik kepada wanita, bukan tertarik kepada sesama laki-laki. Karena itu, hukuman bagi mereka adalah dijungkir-balikkannya tempat-tempat tinggal mereka sehingga bagian yang atas menjadi di bawah, demikian pula, hati mereka dibolak-balikkan.

Pelaku Homoseksual adalah Orang-orang yang Melampaui Batas. Allah subhanahu wata’alatelah menegaskan keburukan perbuatan tersebut, dalam firman-Nya, artinya, “Malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas.” (al-A’raf:81).

Karena itu, coba renungkan, apakah makna seperti itu atau yang mirip dengan itu terdapat dalam masalah zina? Lalu dalam surat al-Anbiya’, ayat 74, Allah subhanahu wata’alamenegaskan kepada mereka bahwa Dia telah menyelamatkan Nabi Luth dari (penduduk) kampung yang melakukan perbuatan keji itu.

Para Pelaku Homoseksual adalah Orang-Orang yang Berbuat Kerusakan, Fasiq dan Zhalim. Allah subhanahu wata’ala menegaskan celaan terhadap mereka dengan dua sifat yang super buruk dalam firman-Nya, “Sesungguhnya mereka adalah kaum yang jahat lagi fasiq.” (al-Anbiyâ`:74). Allah subhanahu wata’ala juga menyebut mereka sebagai orang-orang yang berbuat kerusakan sebagaimana dalam ucapan Nabi mereka, Luth berdoa, ‘Ya Tuhanku, tolonglah aku (dengan menimpakan azab) atas kaum yang berbuat kerusakan itu.” (al-‘Ankabût:30). Allah subhanahu wata’alajuga menyebut mereka sebagai orang-orang yang berbuat zhalim dalam ucapan para malaikat kepada nabi Ibrahim ‘alaihis salam, “Sesungguhnya kami akan menghancur kan penduduk (Sodom) ini; sesungguh nya penduduknya adalah orang-orang yang zhalim.” (al-‘Ankabût:31).

Renungkanlah, siapa orang yang pernah disiksa dengan siksaan-siksaan seperti ini dan dicela dengan celaan seperti ini.?

Sumber: “al-fi’lah allati tatashadda’ lahal jibal”, disarikan dari kitab “ad-Daa’ wad-Dawa’ oleh qism al-Ilmi Darul Wathan

23 01 2012
uwais ibn mubarok

semoga kajiannya berberkah..

amin,…. jazakallahu khoyr

Tinggalkan Balasan ke Hamba Allah Batalkan balasan